, , ,

Mahasiswa IKT UGM Lakukan Penelitian Gen SLCO1B1 pada Pasien Tuberkulosis Papua: Langkah Awal Menuju Pengobatan yang Lebih Presisi

Tropmed UGM. Tuberkulosis (TBC) masih menjadi tantangan besar dalam dunia kesehatan, khususnya di Indonesia yang menduduki peringkat kedua sebagai negara dengan kasus TBC terbanyak di dunia. Dalam upaya meningkatkan efektivitas pengobatan, seorang mahasiswa dari Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis FK-KMK, Universitas Gadjah Mada (UGM), Sophia Marcelina Yansip, melakukan penelitian mengenai Polimorfisme Gen SLCO1B1 pada Pasien Tuberkulosis Paru Etnik Papua di Kota Jayapura.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi variasi gena SLCO1B1 dan melihat apakah variasi gena tersebut dapat memengaruhi aktivitas transportasi rifampisin yang merupakan obat utama dalam terapi Tuberkulosis Sensitif Obat (TB SO) pada populasi pasien TBC etnik Papua. Dengan pemahaman yang lebih mendalam mengenai aspek genetik ini, diharapkan strategi pengobatan TBC dapat lebih disesuaikan dengan karakteristik genetik pasien, sehingga meningkatkan efektivitas terapi dan mengurangi risiko efek samping. “Penelitian ini adalah yang pertama kali dilakukan pada pasien TB SO etnik Papua. Saya berharap hasilnya dapat memberikan wawasan baru bagi dunia medis dalam menyusun kebijakan pengobatan berbasis genetik di masa depan,” ujar Sophia.


Gambar 1. Kegiatan ekstraksi DNA dari sampel darah (whole blood)

Penelitian ini telah berlangsung sejak bulan November 2024 hingga Januari 2025 dengan lokasi pengambilan sampel di 10 Puskesmas di Kota Jayapura. Penelitian ini melibatkan beberapa tahapan penting yang di mulai dari perizinan etik, perekrutan pasien, hingga analisis laboratorium. Tahapan awal dilakukan dengan mengajukan dokumen etik penelitian ke Komisi Etik Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM, yang kemudian diteruskan ke Dinas Kesehatan Kota Jayapura. Setelah mendapatkan izin, maka dilakukan koordinasi dengan Penanggung Jawab (PJ) Program Pengendalian Penyakit (P2P) Tuberkulosis di setiap puskesmas.

Kegiatan rekrutmen pasien dilakukan berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan dalam penelitian. Pasien yang bersedia berpartisipasi diberikan penjelasan sebelum penelitian (informed consent) dan setelah menyetujuinya, mereka menandatangani dokumen persetujuan tertulis. Setelah itu, petugas laboratorium mengambil sampel darah vena sebanyak 3 ml, yang kemudian dikirim ke Balai Laboratorium Kesehatan Masyarakat (Labkesmas) Papua untuk disimpan pada suhu -20°C sebelum dilakukan analisis genetik. Di laboratorium, sampel darah diproses melalui serangkaian tahapan, dimulai dari ekstraksi DNA, pengukuran kualitas dan kemurnian DNA, hingga amplifikasi DNA menggunakan metode PCR-ARMS (Polymerase Chain Reaction – Amplification Refractory Mutation System) dan PCR-RFLP (Polymerase Chain Reaction – Restriction Fragment Length Polymorphism). “Metode PCR-ARMS digunakan untuk mendeteksi variasi SNP rs4149056, sedangkan PCR-RFLP digunakan untuk mengidentifikasi SNP rs2306283. Dua metode ini memungkinkan kami untuk mengetahui apakah terdapat variasi pada gena SLCO1B1 pada pasien TBC etnik Papua,” jelas Sophia.


Gambar 2. Proses pembuatan master mix PCR

Hasil PCR kemudian dianalisis menggunakan elektroforesis gel. DNA yang telah diamplifikasi akan terpisah berdasarkan ukuran pita DNA. Visualisasi DNA dilakukan dengan UV transluminator yang membantu peneliti untuk mengidentifikasi adanya pita DNA yang muncul untuk ditenentukan adanya variasi gena SLCO1B1 pada sampel. Tahapan akhir adalah pengolahan dan analisis data, di mana hasil elektroforesis dicatat dalam Microsoft Excel dan dianalisis untuk melihat pola variasi genetik yang mungkin memengaruhi efektivitas rifampisin pada pasien TBC etnik Papua.

Penelitian ini penting dilakukan karena penelitian farmakogenetik di Indonesia selama ini lebih banyak difokuskan pada etnis dan obat lain, sementara Orang Asli Papua (OAP) masih sangat jarang diteliti. Secara genetik, OAP memiliki kesamaan dengan populasi penduduk Afrika yang dalam beberapa studi menunjukkan bahwa variasi gen SLCO1B1 dapat memperpanjang waktu konversi dahak pada pasien TBC. “Jika kondisi serupa juga terjadi pada populasi pasien TB OAP, maka strategi pengobatan perlu disesuaikan agar terapi lebih optimal” tambah Sophia.


Gambar 3. Melakukan setelan temperatur dan memasukkan sampel pada mesin PCR Konvensional


Gambar 4. Proses elektroforesis produk PCR pada gel agarose

Selain itu, penelitian farmakogenetik selama ini lebih banyak berfokus pada gen penyandi enzim pemetabolisme obat, sementara gen penyandi protein transporter seperti SLCO1B1 masih jarang diteliti. Padahal, transporter ini berperan penting dalam distribusi obat dalam tubuh, yang bisa berdampak langsung pada efektivitas terapi. Dengan hasil penelitian ini, diharapkan ke depan pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dapat mempertimbangkan profil genetik pasien, sehingga terapi lebih efektif dan risiko efek samping dapat diminimalkan.

Penelitian ini memiliki dampak besar dalam pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), terutama SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera. Dengan memahami faktor genetik yang memengaruhi efektivitas pengobatan, pengobatan TBC di Indonesia dapat disesuaikan agar lebih tepat sasaran dan meningkatkan angka kesembuhan. Selain itu, penelitian ini juga mendukung SDG 10: Mengurangi Kesenjangan, karena berfokus pada kelompok etnis yang selama ini kurang terwakili dalam studi farmakogenetik.

Sophia mengakui bahwa penelitian ini bukan tanpa tantangan. Beberapa kendala yang dihadapi antara lain keterbatasan pendanaan, akses terhadap pasien, serta fasilitas laboratorium yang masih perlu pengembangan. “Meneliti genetika populasi minoritas seperti OAP membutuhkan dukungan lebih besar, baik dari segi fasilitas penelitian maupun kebijakan pemerintah. Harapannya, studi seperti ini bisa menjadi awal bagi riset-riset farmakogenetik lainnya,” ujarnya. Selanjutnya, Sophia berharap penelitian farmakogenetik semakin berkembang di Indonesia dan dapat digunakan sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan pengobatan berbasis genetik. Penelitian ini menjadi tonggak penting dalam memahami bagaimana faktor genetik memengaruhi efektivitas pengobatan TBC, khususnya di kalangan Orang Asli Papua. Dengan hasil yang diperoleh, diharapkan strategi pengobatan dapat lebih disesuaikan dengan karakteristik genetik pasien, sehingga memberikan hasil terapi yang lebih optimal.

Dengan semakin berkembangnya penelitian farmakogenetik di Indonesia, harapannya pendekatan pengobatan berbasis personal dapat diterapkan dalam sistem kesehatan nasional, membawa Indonesia selangkah lebih maju dalam mengatasi epidemi tuberkulosis.

Penulis: Fikri Wahiddinsyah

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.