Kuliah Tamu Prof. Malika tentang Epidemiologi Molekuler Resistensi Obat Antimalaria

Tropmed UGM – Kasus malaria diperkirakan kurang lebih 219 juta yang tersebar di 87 negara. Pada 2016, diperkirakan 445.000 orang meninggal karena malaria dan sebagian besar adalah anak-anak di Afrika sub-Sahara. Malaria merupakan salah satu penyakit mematikan yang disebabkan oleh plasmodium dan ditularkan oleh vektor nyamuk Anopheles sp. Plasmodium yang menyebabkan penyakit malaria pada manusia ada 5, yaitu : Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium ovale dan Plasmodium knowlesi.

Informasi ini didapatkan dari paparan materi Prof. Malika (Faculty of Tropical Medicine Mahidol University) yang memberikan kuliah tamu untuk civitas akademika FKKMK UGM pada hari Senin (29/04) di Gedung Auditorium FKKMK UGM Lantai 1. Kuliah tamu ini diikuti mahasiswa S2 maupun yang lainnya dari berbagai peminatan.

Menurut studi yang telah dilakukan oleh Prof. Mallika di Thailand dan Kamboja telah terjadi resisten artemisin pada Plasmodium  falsifarum, dimana gen yang bertanggung jawab untuk resisten ini adalah gen Kelch (K13). Sampai sekarang telah dilaporkan lebih dari 200 mutasi nonsynonim pada gen K13. K13 SNPs berhubungan dengan studi resisten artemisin di Myanmar, Vietnam dan Cambodia, dimana hasil studi ini memperlihatkan bahwa C580Y divalidasi sebagai gen mutasi resistance.

Untuk resistensi Mefloquine pada P. falciparum, gen yang bertanggung jawab adalah gen pfmdr1. Dimana amplifikasi dari gen tersebut berhubungan dengan berkurangnya sensitifitas  derivat mefloquine and artemisinin, dengan kata lain peningkatan jumlah pfmdr1 bisa menjadi prediktor dari kegagalan terapi mefloquine and artemisinin.

Mekanisme resistensi Sulfadoksin-Pirimetamin tergantung pada gen Pyrimethamineinhibit DHFR (Dihydrofolate reductase) dan Sulfadoxine inhibit DHPS (Dihydropteroate synthase). Peningkatan jumlah mutasi dari pvdhps berhubungan dengan penurunan suseptibilitas dari sulfadoxine.

Dari diskusi yang berkembang tentang cepatnya terjadi resistensi dari obat anti malaria maka saran dari Prof. Mallika jika terjadi resistensi maka dilakukan pengunaan jenis artemisin yang berbeda dalam jangka waktu tertentu atau dengan menambahkan kombinasi karena untuk sekarang belum tersedia obat pilihan lain selain artemisin, tetapi tentu harus dengan observasi yang ketat untuk melihat kemungkinan efek samping yang terjadi. Bahkan tidak mungkin suatu saat obat malaria yang sudang dinyatakan resisten sebelumnya seperti klorokuin bisa digunakan kembali meskipun sampai saat ini belum ada bukti ilmiah yang melaporkan itu.

Anak-anak dan orang dewasa dengan malaria P. falciparum tanpa komplikasi (kecuali wanita hamil pada trimester pertama) diterapi dengan salah satu terapi kombinasi berbasis artemisinin (ACT) yang direkomendasikan berikut ini: artemether + lumefantrine, artesunat + amodiakuin, artesunat + mefloquine, dihydroartemisinin + piperaquine dan artesunat + sulfadoksin – pirimetamin (SP).

Resistensi artemisinin endemik yang terkonfirmasi didefinisikan sebagai: ditemukannya ≥ 5% dari pasien yang membawa mutasi resistansi yang dikonfirmasi K13, semuanya telah ditemukan memiliki parasitemia persisten dengan mikroskop pada hari ke-3 atau paruh dari kemiringan pembersihan parasit ≥ 5 jam setelah perawatan. Evaluasi resistensi artemisinin mempertimbangkan beberapa faktor penggangu, termasuk efek obat kombinasi, imunitas, konsentrasi obat yang tidak cukup dalam darah, dan mutasi K13 yang tidak divalidasi.

Dalam studi yang dilakukan juga ditemukan adanya plasmodium baru pada manusia di Kamboja yaitu P. cynomolgi yang secara morfologi mirip dengan P. vivax. Hal yang masih menjadi masalah dalam penegakan diagnosa malaria adalah adanya kondisi submikroskopik dari plasmodium dimana kondisi ini bisa menyebabkan orang yang terinfeksi menjadi asimptomatik sehingga berpotensi menjadi sumber penularan. Kondisi submikroskopik bisa diatasi dengan pemeriksaan molekular, PCR. Masalahnya PCR masih mahal sehingga belum tersedia di semua laboratorium di Indonesia khususnya.

Hasil-hasil studi epidemiologi molekuler resistensi obat antimalaria sangat penting karena data ilmiah ini dapat membantu pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan terkait malaria terutama dalam rangka eliminasi juga bisa memprediksi akan kemungkinan terjadinya kegagalan pengobatan dari suatu OAM sehingga dapat diupayakan cara yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut. (Kevin/Kontributor; Editor & Foto: Admin)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.